Tanawu' fil Ibadah
BAB I
PENDAHULUAN
Di antara tugas Nabi Muhammad saw adalah
memberikan penjelasan (baik dalam bentuk ungkapan kata, perbuatan maupun
penetapan) terhadap apa yang dipesankan al-Qur’an. Melalui
perbuatan dan teladannya, Nabi saw memberikan perincian dan penjelasan
tentang ajaran Islam yang dituangkan dalam al-Qur’an dan hadis.
Manhaj yang ditempuh Nabi saw dalam mengemban missinya (risalahnya), antara lain
memiliki ciri kelapangan dan kemudahan. Hal ini telah dijelaskan di
banyak tempat. Antara lain penyataan Nabi saw sendiri sebagaimana diriwayatakan
Imam Muslim : “Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai
seseorang yang mempersulit, atau mencari kesalahan orang lain. Akan
tetapi aku diutus sebagai pengajar dan pembawa kemudahan”.
Dari pernyataan Nabi saw di atas dapat dipahami bahwa
ajaran Islam yang disampaikan kepada umat manusia pasti sesuai dengan
kemampuan mereka dan tidak mungkin menimbulkan kesulitan. Oleh
karena itu jika terdapat pernyataan ataupun perbuatan Nabi
saw yang tampak berlawanan atau tidak sejalan satu dengan yang lain,
bahkan mungkin menimbulkan kesan membingungkan, maka boleh jadi
sumber pernyataan tersebut tidak benar-benar berasal dari Nabi saw,
atau mungkin saja pemahaman kita terhadap pernyataan itu kurang tepat.[1]
Di antara hadits Nabi saw yang terkadang tampak tidak
sejalan satu dengan yang lain adalah hadits-hadits tentang tata
cara pelaksanaan ibadah. Hadits-hadits semacam ini disebut
dengan istilah “Hadits-hadits tanawu’ al-ibadah”, yaitu
hadits hadits yang menerangkan praktik ibadah tertentu, yang
dikerjakan Nabi saw, tetapi antara hadits hadits tersebut terdapat
perbedaan, sehingga menggambarkan adanya keragaman bentuk peribadatan.[2] Di
antara sekian banyak hadis yang menjelaskan tentang keberagaman dalam praktek
ibadah adalah tata cara pelaksanaan wudhuk, tata cara pelaksanaan tayamum, tentang
keberagaman bacaan dalam rukû’ dan sujûd.
Oleh sebab itu makalah ini disusun untuk mendiskusikan
bagaimana memahami dan menyikapi hadits-hadits tersebut, supaya memperoleh
pengertian yang semestinya terkait dengan keragaman hadits tentang tata cara
peribadatan(Tanawu’ fil ibadah) yang bisa menimbulkan kesan adanya
perbedaan, dan bahkan pertentangan antara satu ketentuan dengan ketentuan
lainnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tanawwu’ fi Al-ibadah
Tanawwu’ fi al-ibâdah ialah keberagaman praktek ibadah tertentu yang diajarkan oleh
Rasulullah akan tetapi antara yang satu dengan yang lain terdapat perbedaan,
bukan pertentangan, sehingga menggambarkan keberagaman dalam pelaksanaan ibadah
tersebut.[3]
Hadis tanawwu’ al-ibadah ialah hadis-hadis yang menerangkan praktik
ibadah tertentu yang dilakukan atau diajarkan oleh Rasulullah saw, akan tetapi
antara satu dan lainnya terdapat perbedaan sehingga menggambarkan adanya
keberagaman ajaran dalam pelaksanaan ibadah tersebut. Perbedaan atau
keberagaman ajaran yang dimaksudkan adakalanya dalam bentuk tatacara
pelaksanaan (perbuatan) dan adakalanya dalam bentuk ucapan atau bacaan-bacaan
yang dibaca. Hadis-hadis tanawu’ ini juga disebut sebagai hadis-. hadis
mukhtalif dalam arti
umum.”.
Adapun Mengenai istilah hadis-hadis tanawu’
al-badah ini adalah hasil dari upaya Imam al-Syafi’i dalam
menyelesaikan hadits hadits yang dianggap sebagian ulama sebagai
hadits-hadits yang bertentangan atau tidak sejalan.[4] Menurut
al-Syafi’i, hadits-hadits yang kelihatan tidak sejalan itu sebenarnya tidak
mengandung pertentangan, karena dapat dipertemukan dan dikompromikan satu sama
lain.
Imam Syafi’i
memberikan sebuah batasan bahwa hadis-hadis yang di golongkan sebagai al ikhtilaf al mubah ini adalah
hadis-hadis mukhtalif yang tidak mengandung hukum-hukum yang berbeda atau berlawanan
sehingga salah satunya harus ditinggalkan. Imam
Syafi’i berkata:[5] “ Dua hadis tidak disebut ikhtilaf selama keduanya
masih ditemukan jalan untuk sama-sama mengamalkan keduanya. Disebut ikhtilaf
jika tidak dapat mengamalkan yang satu tanpa meninggalkan yang lain, seperti
hadis dalam kasus yang sama, yang satu menghalalkan dan yang lain mengharamkan”.
Jelas terlihat dalam batasan makna
yang dikemukakan Imam Syafi’i diatas
bahwa dua hadis disebut mukhtalif jika
keduanya mengandung makna yang bertentangan, misalnya antara halal dan haram
atau makruh dan sunat. Jika ada pertentangan seperti ini, maka hadis-hadis
tersebut dapat dikatakan mukhtalif dan perlu dilakukan
penyelesaiaan dengan pendekatan-pendekatan ilmu ikhtilaf al hadis. Selama tidak ada pertentangan seperti itu,
hadis-hadis yang tampak ikhtilaf
tersebut dikategorikan sebagai hadis al
ikhtilaf al mubah, artinya semua hadis tentang ibadah yang beragam ini
dapat diamalkan dan tidak perlu dilakukan nasakh
atau tarjih.
Merujuk kepada sejarah, begitulah
sikap para sahabat, tabi’in serta kalangan mutaqaddimin (masa sebelum akhir
abad ketiga) lainnya dalam menyikapi hadis-hadis yang beragam seperti itu.
Tidak ditemukan riwayat bahwa mereka bertengkar dalam masalah ibadah ini.
Meskipun yang mereka amalkan berbeda, tidak ada diantara mereka yang menyalahkan
yang lain atau menyatakan bahwa hadis yang diamalkan orang lain tidak kuat.
Akan tetapi, dalam masa selanjutnya muncul kecenderungan sementara orang
memilih-milih hadis atau menguatkan yang satu dan melemahkan yang lain.
Ibnu Taimiyah menyebutkan bahwa ada
dua bentuk perselisihan ulama yang harus benar-benar diperhatikan, yaitu:
a.
Mereka sepakat terhadap kebolehan kedua bentuk amal, tetapi mereka
berbeda pendapat tentang mana diantara keduanya yang lebih afdhal
b.
Mereka memperselisihkan tentang kebolehan pengamalan dari salah
satu dari dua hadis yang diperselisihkan tersebut. Kebanyakan kasus yang mereka
perselisihkan itu karena ada sunnah
yang berbeda dalam kasus tersebut.
Dalam menghadapi hadis-hadis tanawu’
Al-Ibadah, pertama harus diperhatikan apakah hadis-hadis tersebut semua dalam
kategori hadis makbul atau tidak. Kemudian hendaklah dipelajari apakah
perbedaan ajaran yang dikandung oleh masing-masingnya membawa kepada
pertentangan atau tidak. Apabila ternyata semua termasuk kategori hadis makbul
dan perbedaan yang terdapat antara satu dan lainnya tidak membawa kepada
pertentangan yang tidak dapat dikompromikan, maka hadis-hadis tersebut semua
haruslah diterima dan diakui kehujjahannya untuk diikuti dan diamalkan.
Ajaran-ajaran yang dibawanya
haruslah dipahami sebagai cara atau bentuk-bentuk pelaksanaan (jika hadis-hadis
tersebut menyangkut tata cara pelaksanaa), atau macam-macam bentuk bacaan (jika
hadis-hadis tersebut menyangkut bacaan yang dibaca), yang boleh diikuti dan
diamalkan. Dan mana saja diantaranya yang dipilih, memenuhi syarat bagi sahnya
ibadah tersebut.
B. Contoh-contoh Hadis Tanawwu’ fi Al-ibadah
1.
Contoh hadis tanawwu’ fi
ibadah menyangkut tata cara pelaksanaan wudhu’.
عَنْ اِبْنُ عَبَّاْسٍ،قَالَ: أَلَا أَخْبِرُكُمْ بِوُضُوءِ رَسُوْلِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَتَوَضَّأَ مَرَّةً مَرَّةً
Artinya: Dari Ibnu Abbas, dia berkata, Maukah
kalian aku kabarkan tentang cara wudhuk Rasulullah SAW ?Beliau SAW berwudhuk
satu kali-satu kali (untuk tiap anggota wudhu’).[6]
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمّنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى قاَلَ رَأَيْتُ
عَلِيًّا رَضِي اللَّهُم عَنْهُم تَوَضَّأَ فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَ ثًا وَغَسَلَ
ذِرَاعَيْهِ ثَلاَ ثًا وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَاحِدَةً ثُمَّ قَالَ هَكَذَا
تَوَضَّأَ رَسُوْلُ اللَّهِ لَلَّهُمَّ وَسَلَّمَ.
Artinya: Dari Abdirrahman
bin Abu Laila, dia berkata, “saya pernah melihat Ali RA berwudhu’, maka dia mencuci mukanya
tiga kali,mencuci kedua lengannya tiga kali, dan menyapu kepalanya satu kali,
kemudian berkata, “Demikianlah Rasulullah SAW berwudhuk.[7]
عَنْ
عَبْدِاللَّهِ بْنِ عُمَرَ،أَنَّهُ تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا،يُسْنِدُ ذَلِكَ
اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: Dari Abdullah bin
Umar bahwa beliau berwudhuk tiga kali-tiga kali. Dia menyandarkan hal itu
kepada Rasulullah SAW.[8]
Tiga buah hadis di atas sama-sama
menerangkan tata cara berwudhu’ Rasulullah, khususnya dalam membasuh anggota wudhu’nya.
Akan tetapi satu dengan yang lainnya mengandungi ajaran yang berbeda
sehingga dapat menimbulkan kesan sebagai tidak adanya ketegasan dalam masalah
tersebut.
Cara penyelesainnya di atas adalah semua hadis-hadis tanawwu’ al-ibadah boleh diikuti
dan diamalkan, tetapi yang manakah diantaranya lebih baik “afdhal” untuk
diikuti dan diamalkan, jawabannya adalah yang lebih sempurna. Diantarnya,
khusus menyangkut hadis-hadis tentang tata cara berwudhu’ Rasulullah, dikatakan
oleh Syafi’i bahwa dari ketiga hadis tersebut sebenarnya dapat ditarik suatu
ajaran bahwa cara minimal yang dituntut untuk sahnya wudhu’ adalah membasuh
anggota wudhu’ masing-masing satu kali (berdasarkan hadis Ibn Abbas), dan
sempurnanya, adalah dengan membasuh masing-masing tiga kali (bersasarkan hadis
Abdullah bin Umar). Jadi, yang
afdhal untuk didahulukan mengamalkan yang lebih sempurna diantaranya sesuai
dengan penjelasan diatas yakni, hadis
riwayat Abdullah bin Umar.
Dengan
demikian, selanjutnya dapat dikatakan bahwa cara terbaik bagi sesorang dalam
berwudhu’
ialah dengan membasuh anggota wudhu’nya
masing-masing tiga kali. Boleh juga memilih masing-masing dua kali. Bahkan
dalam situasi tertentu mungkin saja yang dilakukan oleh Rasulullah.
Dari keberagaman
tersebut ada yang bernilai lebih afdhal dari pada yang lain, patut dimaklumi
bahwa keutamaan tersebut sangat tergantung dengan kondisi waktu, tempat, dan
kondisi hati orang yang beramal.
Selanjutnya, satu hal yang patut
dipahami bahwa dalam masalah ibadah sama dengan masalah agama lainnya, apa yang
disebut dengan konstektualitas tetap berlaku. Dari uraian Imam Syafi’i sebagai contoh terlihat bahwa dalam mengamalkan amalan tertentu
dari ibadah yang beragam sangat ditentukan oleh pilihan masing-masing orang.
Pilihan ini sendiri ditentukan oleh fadhilah masing-masing amalan yang dilaksanakan,
oleh kondisi hati dan faktor keterbatasan manusia.
Mengakhiri penjelasan dari Tanawwu’ fi al-ibadah ini perlu
dipertegas bahwa orang awam, karena keterbatasan dan keawamannya, yang terbaik
baginya adalah mengamalkan apa yang ia dapat dari gurunya dan apa yang mudah
dilaksanakannya. Karena
keawamannya itu pula bahwa cara ini lebih afdhal
untuknya. Namun, bagi orang yang kurang pemahamannya tentang ilmu ini yaitu
mereka yang ibadahnya dilakukan berdasarkan arahan dan bimbingan dari orang
lain atau berdasaran kitab petunjuk dalam suatu mazhab, lembaga, atau
organisasi sosial keagamaan tertentu tidak terlalu mudah meremehkan apa lagi
menyalahkan amaliyah atau perbuatan dari amal orang lain. Sebab, pada tataran
ideal, semua keragaman yang hari ini dilihat memiliki dasar dari amaliyyah Rasulullah.
Oleh karena ini, melecehkan amalan orang lain sama artinya dengan melecehkan
sunnah sendiri.
Banyak manfaatnya jika orang atau
pihak yang selama ini mengamalkan satu macam saja dari konsep ibadah. Sebaiknya
mulai mempelajari dan mendalami konsep ibadah yang lainnya. Sehingga kesan
keterkotakan sosial dalam masyarakat ini dapat diredam.
2. Contoh hadis mengenai
tata cara pelaksanaan tayamum
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ
أَبْزَى عَنْ أَبِيْهِ قَالَ:جَاءَ رَجُلُ الَى عْمَرَبْنِ الخُطاَّ بِ فَقَالَ:
اِنِّي أَجْنَبْتُ فَلَمْ أُصِبِ المَاءَ، فَقَالَ عَمَّارُبْنُ ياَسِرٍ
لِعُمَرَبْنِ الخَطاَّبِ،أَمَا تَذْكُرُأَنَّا كُنَّا فِي سَفَرٍ أَنَا
وأَنْتَ،فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ وَأَمَّ أَنَا فَتَمَعُّكْتُ فَصَلَّيْتُ،فَذَكَرْتُ
لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيِّ: (اِنَّما
كَانَ يكْفِيْكَ هَكَذَا) فَضَرَبَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِكَفَّيْهِ الآَرْضَ وَنَفَخَ فِيهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ
وَكَفَّيْهِ.
Artinya: Diriwayatkan dari Said bin Abdurrahman
bin Abza dari ayahnya ia berkata, seorang mendatangi Umar bin Khathtab dan
berkata, Aku junub dan tidak menemukan air. Maka Ammar bin Yasir berkata kepada
Umar bin khathtab, “Apakah anda tidak
ingat ketika kita dalam suatu perjalanan (saya dan engkau), maka engkau tidak
salat, adapun aku berguling-guling ditanah kemudian salat,kemudian aku
menyebutkan hal itu kepada Nabi SAW. Maka beliau SAW berkata , Hanya saja cukup
bagimu begini , lalu Nabi SAW memukul tanah dengan kedua telapak tangannya dan
meniupnya, kemudian mengusap muka dan kedua tangannya dengan keduanya.[9]
Hadis ke dua mengenai tayamum
وَعَنِ اِبْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم التَّيَمُّمُ
ضَرْبَتَانِ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ, وَضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلَى اَلْمِرْفَقَيْنِ
- رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَصَحَّحَ اَلْأَئِمَّةُ وَقْفَه.
Artinya: Daripada Ibn ‘Umar RA katanya, Rasulullah s.a.w. bersabda:
“Tayammum itu dua kali tepuk satu untuk muka dan satu untuk kedua-dua tangan
sampai ke siku. (al-Daruqutni. Para imam hadis mengatakan yang
sahih adalah mawquf).
·
Sudut pertentangan
Hadis ‘Ammar di atas menunjukkan tayammum itu sah dilakukan dengan satu
tepukan ke muka dan tangan sampai kepada pergelangan tangan manakala hadis Ibn
‘Umar menyatakan tayammum hendaklah dilakukan dengan dua tepukan satu untuk
muka dan satu untuk tangan hingga ke siku.
Ayat al-Qur`an menyebutkan hukum tayammum
sangat ringkas (mujmal) dan perlu kepada penjelasan (bayan) .
4 bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3Ï÷r&ur çm÷YÏiB 4
$tB ßÌã ª!$# @yèôfuÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym q`Å3»s9ur ßÌã öNä.tÎdgsÜãÏ9 §NÏGãÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 crãä3ô±n@ ÇÏÈ
Artinya: Dan jika kamu sakit (tidak boleh kena air), atau dalam pejalanan
jauh, atau salah seorang dari kamu datang dari tempat buang air, atau kamu
sentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air (untuk berwuduk dan mandi),
maka hendaklah kamu bertayamum dengan tanah - debu yang bersih, iaitu: sapulah
muka kamu dan kedua belah tangan kamu dengan tanah - debu itu. (Surah
al-Ma`idah: 6)
Tangan yang disebutkan dalam ayat di atas boleh
ditafsirkan dengan beberapa makna. Pertama, hingga ke pergelangan tangan,
kedua, hingga ke siku dan ketiga, hingga ke ketiak. Berdasarkan kepada
penggunaan bahasa Arab, ketiga-tiga makna ini boleh dipakai. Walau bagaimana
penjelasan daripada Sunnah diperlukan untuk menentukan maksud yang sebenar yang
dikehendaki oleh Shara’.
·
Cara Penyelesaiannya
v Kaedah tarjih
Jumhur ulama berpendapat bahawa had atau kadar
tayammum ialah menyapu muka dan tangan hingga ke siku. Mereka mentarjihkan
hadis Ibn ‘Umar kerana ianya dikuatkan dengan qiyas iaitu diqiyaskan tayammum
dengan wudu`. Al-Sarakhsi berkata, tayammum merupakan badal (ganti) kepada
wudu` dan wudu` pula sama ke siku maka demikian juga tayammum. Tegasnya, dua
anggota telah gugur sama sekali pada tayammum dan tinggal dua anggota sahaja,
maka tayammum padanya itu seperti wudu` pada keseluruhan sebagaimana sembahyang
pada ketika safar gugur darinya dua raka’at maka yang baki darinya kekal dengan
sifat sempurna, oleh sebab itulah kita mensyaratkan isti’ab (menyapu secara
keseluruhan)
Mazhab Syafi’i yang mengatakan sapu hingga ke siku
berdalil dengan firman Allah s.w.t. وَأَيْدِيكُمْ
مِنْهُ
Mereka berkata,
disebutkan tangan secara mutlak merangkumi hingga ke bahu, maka lengan juga
termasuk dalam umumnya nama tangan itu, kemudian dibataskan sapuan pada
tayammum dengan ditaqyidkan tangan sama seperti ditaqyidkan pada wudu` hingga
siku. Begitu juga sekiranya sapuan pada muka secara keseluruhan maka sapuan
pada tangan juga secara keseluruhan.
Imam Ahmad, Ishaq, Ibn Hazm dan Ahli
hadis mengatakan bahawa memadai dengan sekali tepuk dan sapu hingga pergelangan
tangan sahaja kerana beramal dengan hadis ‘Amar yang merupakan hadis yang
paling sahih dalam perkara ini sebagaimana yang diakui oleh al-Turbashti,
al-Khattabi, Ibn Daqiq al-‘Id dan lain-lain.
Hafiz Ibn Hajar dalam Fath al-Bari
menyatakan, hadis-hadis berkenaan tayammum tidak ada yang sahih melainkan hadis
Abu al-Juhaym dan ‘Ammar. Adapun hadis yang lain, sama ada dha’if atau khilaf
tentang marfu’ atau mawquf tetapi yang rajih ialah tidak marfu’. Hadis Abu
al-Juhaym menyebutkan tangan secara mujmal. Hadis ‘Ammar pula dalam Sahih
al-Bukhari dan Sahih Muslim menyebutkan tangan hingga ke pergelangan, dalam
kitab-kitab sunan pula disebutkan hingga ke siku. Dalam satu riwayat yang lain
pula hingga ke separuh lengan dan ada juga riwayat hingga ke ketiak. Riwayat
hingga ke siku dan juga hingga ke separuh lengan dipertikai oleh ulama tentang
kesahihannya. Riwayat hingga ke ketiak pula Imam alSyafi’i dan juga ulama lain
mengatakan jika ianya berdasarkan kepada perintah Rasulullah s.a.w. maka
riwayat-riwayat lain yang sahih memansukhkannya. Sekiranya tidak diperintah
oleh baginda maka yang menjadi hujah adalah apa yang diperintah baginda. Antara
perkara yang menguatkan riwayat al-Bukhari dan Muslim yang membataskan pada
menyapu muka dan tangan hingga ke pergelangan ialah ‘Ammar memberi fatwa
berdasarkan kepada hadis ini dan perawi hadis lebih mengetahui maksudnya
daripada orang lain apatah lagi seorang sahabat yang mujtahid.
v Kaedah jam’u’ dan tawfiq
Mazhab imam Malik mengompromikan hadis tentang kayfiat tayammum ini dengan
mengatakan wajib menyapu hingga pergelangan tangan dan sunnat menyapu sehingga
ke siku ya’ni menafsirkan hadis Ibn ‘Umar dengan makna sunnah sementara hadis
‘Ammar sebagai kadar wajib. Ibn Rushd mengatakan ini adalah mazhab yang baik
kerana jama’ lebih utama daripada tarjih, walau bagaimanapun kaedah ini sesuai
jika hadis-hadis tersebut sahih.
3. Contoh hadis Tentang
Tanawu’ fil ibadah tentang keberagaman bacaan dalam rukû’ dan sujûd:
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ
بْنُ حَرْبٍ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ
مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي الضُّحَى عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ فِي
رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ
لِي يَتَأَوَّلُ الْقُرْآنَ.[10]
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harbin dan Ishaq bin Ibrahim, berkata
Zuhair telah menceritakan kepada kami Jarir dari Mansur dari Abu Dhuha dari
Masruq dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah saw memperbanyak membaca dalam ruku’
dan sujud beliau, “Subhanakallahumma rabbana wabihamdika Allahhummaghfirli (Maha
Suci Engkau ya Allah tuhan kami dan segala puji bagimu, ya Allah ampunilah
kami)”, (dengannya) beliau menafsirkan Al-Qur’an (QS. An-Nashr: 3).
و حَدَّثَنِي أَبُو
الطَّاهِرِ وَيُونُسُ بْنُ عَبْدِ الْأَعْلَى قَالَا أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ
أَخْبَرَنِي يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غَزِيَّةَ عَنْ سُمَيٍّ
مَوْلَى أَبِي بَكْرٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ فِي سُجُودِهِ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ دِقَّهُ وَجِلَّهُ
وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلَانِيَتَهُ وَسِرَّهُ.
Artinya: Telah menceritakan kepadaku Abu Thahir dan
Yunus bin Abdul A’la, mereka berdua berkata telah diberitakan kepada kami Ibnu
Wahab telah diberitakan kepadaku Yahya bin Ayyub dari ‘Umarah bin Ghaziyyah
dari Summayya mantan budak Abu Bakar dari Abu Shalih dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah Saw dalam sujud beliau membaca, “Allahummafirli dzanbi kullahu
diqqahu wajillahu wa auwalahu wa akhirahu wangalaniatahu wa sirrahu (Ya
Allah Ampunilah dosa-dosaku semuanya baik yang kecil/ sedikit maupun yang
besar/banyak, baik yang awal maupun yang akhir, baik terang-terangan maupun
yang tersembunyi).”
و حَدَّثَنِي حَسَنُ
بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ وَمُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ قُلْتُ لِعَطَاءٍ كَيْفَ تَقُولُ
أَنْتَ فِي الرُّكُوعِ قَالَ أَمَّا سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا
أَنْتَ فَأَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ افْتَقَدْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَظَنَنْتُ أَنَّهُ
ذَهَبَ إِلَى بَعْضِ نِسَائِهِ فَتَحَسَّسْتُ ثُمَّ رَجَعْتُ فَإِذَا هُوَ رَاكِعٌ
أَوْ سَاجِدٌ يَقُولُ سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ فَقُلْتُ
بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي إِنِّي لَفِي شَأْنٍ وَإِنَّكَ لَفِي آخَرَ.
Artinya:
Dan telah menceritakan kepadaku Hasan bin Ali Al-Hulwani dan Muhammad bin Rafi’,
mereka berdua berkata; telah menceritakan kepada kami Abdul Razaq telah
diberitakan kepada kami Ibnu Juraij, ia berkata; aku bertanya kepada Atha’ apa
yang engkau baca di dalam ruku’? Ia menjawab, “Subhanaka wa bihamdika La
ilaha illa anta.” Demikian diberitakan kepadaku Ibnu Abi Mulaikah dari
Aisyah, ia berkata: Aku kehilangan Nabi saw pada suatu malam, maka aku mengira
beliau pergi ke istri beliau yang lain, maka aku berusaha mencari beliau lalu
kemudian pulang, aku mendapati beliau sedang ruku’ atau sujud seraya membaca, “Subhanaka
wabihamdika La ilaha illa anta. (Maha Suci Engkau dan segala puji bagi-Mu,
tiada Tuhan selain Engkau)” .
Tiga
contoh bacaan dalam rukû’ dan sujûd di atas merupakan ragam ibadah
yang ketiganya diajarkan oleh Rasulullah dan diriwayatkan dengan isnad yang shahîh. Dalam mengamalkannya tergantung pada orang yang mengamalkannya
manakah yang menurutnya tepat untuknya, baik dari kebiasaan, hafalan, atau
makna yang dikandung oleh bacaan itu sesuai dengan doa yang ingin ia panjatkan
ketika sujûd dan rukû’. Masih banyak bacaan yang lain yang diajarkan oleh Rasulullah
menyangkut bacaan rukû’ dan sujûd, maupun bacaan yang lainnya. Maka cara penyelesaiaan hadis di atas
adalah menggunakan metode tanawu’ fil ibadah.
BAB III
KESIMPULAN
Hadis-hadis tanawwu’ al ibadah ialah hadis-hadis yang menerangkan praktik
ibadah tertentu yang dilakukan atau diajarkan oleh Rasulullah saw, akan tetapi
antara satu dan lainnya terdapat perbedaan sehingga menggambarkan adanya
keberagaman ajaran dalam pelaksanaan ibadah tersebut. istilah
hadis-hadis tanawu’ al-badah ini adalah hasil dari upaya
Imam al-Syafi’i dalam menyelesaikan hadits hadits yang dianggap sebagian
ulama sebagai hadits-hadits yang bertentangan atau tidak sejalan.
Dalam menyelesaikan hadis-hadis
tanawu’ Al-Ibadah, pertama harus diperhatikan apakah hadis-hadis tersebut semua
dalam kategori hadis makbul atau tidak. Kemudian hendaklah dipelajari apakah
perbedaan ajaran yang dikandung oleh masing-masingnya membawa kepada
pertentangan atau tidak. Apabila ternyata semua termasuk kategori hadis makbul
dan perbedaan yang terdapat antara satu dan lainnya tidak membawa kepada
pertentangan yang tidak dapat dikompromikan, maka hadis-hadis tersebut semua
haruslah diterima dan diakui kehujjahannya untuk diikuti dan diamalkan.
DAFTAR PUSTAKA
Daniel Djuned, Paradigma Baru
Studi Ilmu Hadis, Cet. I, (Banda
Aceh: Citra Jaya, 2002)
Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Nasa’i jilid I, cet 2 (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007)
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud,
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2007)
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari jilid
2, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007)
Edi
Safri, al-Imam al-Syafi’iy;
Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN IB Press, 1999)
Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual (Jakarta
: Bulan Bintang, 1994 )
Abi al-Hasan Muslim al-Hajjâj al-Qusairiy Al-Naisâbûriy , Shahih Muslim, (al-Qâhirah: Dâr Ibn al-Haitsam, 2001) terbitan
satu jilid
Ibnu Taimiyah, Mu’jam ala-Fatawa, ( Bairut : Dar al-Arabiyah,
1398 H)
Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Um, bab ikhtilaf
al-Hadits, (Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1993)
[1] . Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual
dan Kontekstual (Jakarta : Bulan Bintang, 1994 ) hal. 6
[2] Ibnu Taimiyah, Mu’jam ala-Fatawa, (
Bairut : Dar al-Arabiyah, 1398 H) juz ke 22, hal. 335
[3] Edi
Safri, al-Imam al-Syafi’iy; Metode Penyelesaian Hadis-Hadis
Mukhtalif, (Padang: IAIN IB Press, 1999), hal. 81-82
[4] Muhammad
bin Idris al-Syafi’i, Al-Um, bab ikhtilaf al-Hadits, (Dar
al-Kutub al-Islamiyah, 1993) juz IX hal. 541
[5]
Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu
Hadis, Cet. I, (Banda Aceh: Citra
Jaya, 2002), hal. 113.
[6] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Nasa’i
jilid I, cet 2 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) hal 36
[7] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007) hal 44
[8] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Nasa’i Jilid I…, hal 36
[9] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Baari jilid
2, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) hal .610
[10] Abi
al-Hasan Muslim al-Hajjâj al-Qusairiy Al-Naisâbûriy , Shahih Muslim, (al-Qâhirah: Dâr Ibn al-Haitsam, tt) terbitan
satu jilid, hal.120
0 comments:
Post a Comment