Pendidikan di Aceh Masa ke Masa
Aceh,
sebuah provinsi di ujung barat pulau Sumatra. Dikenal pula dengan sebutan
serambi mekah, tempat di mana ulama-ulama besar pernah dilahirkan. Aceh
dahulunya juga merupakan pusat penyebaran agama Islam pertama di Nusantara.
Kerajaan Islam pertama di Nusantara didirikan di daerah ini, yaitu Kerajaan
Samudra Pasai.
Pendidikan di Masa Kerajaan Aceh Darussalam
Pada
masa-masa kerajaan Islam dahulu, pendidikan yang berlaku adalah pendidikan yang
berdasarkan Agama Islam. Anak-anak dididik oleh orang tuanya, baik langsung
oleh ibu-bapaknya atau diserahkan untuk belajar di bawah bimbingan seorang guru
di masjid atau meunasah (surau). Meunasah terdapat di setiap desa di Aceh,
fungsinya selain sebagai pusat peribadatan, juga sebagai tempat pendidikan dan
kegiatan-kegiatan sosial masyarakat.
Selain
di meunasah, ada pula pesantren-pesantren atau yang lebih dikenal dengan
sebutan dayah didirikan untuk mempelajari ilmu-ilmu agama secara lebih
mendalam. Biasanya pendidikan di meunasah adalah tingkat dasar, dan selanjutnya
para santri atau murid memperdalamnya di pesantren-pesantren.Sebagai lembaga
pendidikan tingkat dasar, meunasah memiliki sistem pembelajaran di mana
kurikulumnya lebih difokuskan pada penguasaan bacaan al-Qur'an dan pengetahuan
dasar agama.
Banyak
ulama-ulama yang hidup pada masa-masa tersebut, di antaranya Teungku Abdurrauf
As-Singkili atau Syiah Kuala, namanya diabadikan pada sebuah perguruan tinggi
di Aceh yaitu Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Syaikh Nuruddin Ar-Raniry,
diabadikan pada nama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry. Hamzah Fanshuri dan Syamsuddin
As-Sumatrani yang dikenal sebagai tokoh sufi serta tokoh-tokoh ulama lainnya.
Pendidikan di Masa Penjajahan Belanda
Hal
ini terus berlangsung dari abad ke abad sampai dengan kedatangan Belanda ke
Aceh. Oleh Belanda, untuk menarik simpati rakyat Aceh dan mengendalikan mereka
maka didirikanlah sekolah-sekolah umum yang berbeda jauh dari sistem pendidikan
baik di meunasah maupun di pesantren yang berlandaskan pelajaran Agama Islam. Di sekolah-ini diajarkan pengetahuan-pengetahuan
umum seperti matematika, ilmu bumi, bahasa Belanda, dan sebagainya. Sedangkan
mata pelajaran Agama ditiadakan. Sekolah-sekolah iniberupaya agar rakyat
Aceh, terutama para pembesarnya, menjadi loyal terhadap Pemerintah Belanda.
Sekolah
yang didirikan oleh Belanda juga terdiri dari beberapa tingkatan, dimulai dari
tingkat dasar yang disebut dengan Sekolah Rakyat (HIS), kemudian bagi yang
memiliki kemampuan melanjutkan ke Sekolah Menengah/Lanjutan (MULO). Tingkat
selanjutnya adalah Sekolah Tinggi, pada masa itu untuk daerah Sumatra hanya
terdapat di Bukit Tinggi. Sangat sedikit putra Aceh yang memasuki
sekolah-sekolah Belanda apalagi melanjutkan ke Sekolah Tinggi. Ini disebabkan
oleh larangan keras dari ulama untuk belajar di lembaga pendidikan Belanda,
bahwa haram hukumnya belajar di sekolah yang didirikan oleh orang-orang Kafir.
Pesantren-pesantren
sangat dikekang oleh pemerintah Belanda, dikarenakan pesantren selain sebagai
pusat pendidikan Islam juga sebagai basis perjuangan rakyat Aceh melawan
Belanda.
Dapat
dikatakan pendidikan di Aceh setelah kedatangan Belanda mengalami kemunduran. Lembaga
pendidikan Islam yang dahulunya maju pesat terhambat oleh perang, pendidikan tidak
lagi difokuskan untuk mengkaji ilmu-ilmu pengetahuan, namun lebih diutamakan
untuk membentuk penjuang-pejuang yang tangguh. Selain itu pula,
pesantren-pesantren yang ada berada di
lokasi yang sangat tersembunyidikarenakan tekanan dari Belanda.Adapun lembaga
pendidikan umum yang didirikan oleh Belanda juga tidak berjalan lancar,
kebencian rakyat Aceh terhadap Belanda ditambah seruan pengharaman lembaga
pendidikan ini oleh para ulama menjadikan pendidikan Belanda ini juga tidak
berhasil dengan baik.
Baru
sekitar tahun 1920, sedikit demi sedikit pendidikan Aceh mulai bangkit. Pada
priode ini kebangkitan pendidikan tampak dari berdirinya Perguruan-Perguruan
Islam non pesantren. Di antaranya Perguruan Thawalib di Aceh Selatan yang
dipelopori oleh H. Jalaluddin Thaib, Perguruan Muhammadiyah dan Perguruan
Nasional Taman Siswa yang didirikan oleh beberapa tokoh pergerakan dari daerah
lain yang diasingkan ke Aceh seperti R. Moerdani, Ayah A. Gani, Ayah Marah
Adham Hasibuan.
Ulama-ulama
Aceh pun tidak ketinggalan, di daerah Aceh Besar didirikan Perguruan Agama di
Masjid Raya di bawah pimpinan Teuku Syekh Saman, Tuanku Abdul Aziz dan Teuku M.
Saleh Lambhok.
Kemudian
pada era 1930-an, kebangkitan pendidikan semakin tampak. Kebangkitan ini
dipelopori oleh para mubaligh-mubaligh Aceh yang memberi kesadaran kepada
masyarakat akan ketertinggalan mereka hampir di segala bidang. Lalu di
mana-mana timbul usaha membangun rumah pendidikan. Sekolah agama tidak hanya
mengajarkan pengetahuan agama Islam semata, namun juga diajarkan pengetahuan
umum lainnya. Di antaranya muncullah Madrasah Almuslim di Bireun oleh Teuku
Haji Cik Peusangan, Al-Jamiyyatuddiniyyah di Sigli oleh Teuku Muhammad Daud
Beureueh, Perguruan Al-Irsyad di Lhokseumawe di bawah pimpinan Teuku Muhammad
Hasbi Ahs-Shiddiq, dan lain-lain.
Pendidikan di Masa Pendudukan Jepang
Selanjutnya
pada tahun 1942 Jepang mulai masuk ke Aceh setelah mengalahkan Belanda.
Kedatangan Jepang tentu saja ikut merubah bentuk dan sistem pendidikan di Aceh.
Walaupun demikian, tujuannya tetap sama
dengan sekolah-sekolah Belanda, yaitu untuk membuat rakyat Aceh loyal terhadap pemerintah
penjajah. Beberapa kurikulum sekolah Belanda diganti oleh Jepang, misalnya
pendidikan Bahasa Belanda diganti dengan Bahasa Jepang, nyanyian-nyanyian pujian terhadap kekaisaran
Jepang juga dimasukkan sebagai pata pelajaran wajib di
sekolah. Sedangkan Perguruan Taman Siswa dan Muhammadiyah tidak berjalan lagi
ketika itu. Sekolah agama lainnya masih berjalan seperti biasa, walaupun
diawasi dengan ketat oleh Pemerintah Jepang. Pada priode pendudukan Jepang,
kualitas pendidikan di Aceh kembali menurun disebabkan kondisi perang yang
diciptakan Jepang.
Pendidikan di Masa Pasca Kemerdekaan
Setelah
kemerdekaan, sekolah-sekolah agama yang dulunya berdiri sendiri mulai
dinegerikan di bawah Departemen Agama dan Departemen Pendidikan. Pendidikan
keagamaan mulai dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah umum, dan sebaliknya
pendidikan pengetahuan umum dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah agama.
Pada
tahun 1956, muncul inisiatif untuk membangun kota pelajar/mahasiswa Darussalam,
sebagai Pusat Pendidikan di Aceh. Diresmikan pada tahun 1959 oleh Presiden RI.
Dalam perkembangan selanjutnya, Aceh memiliki dua perguruan tinggi negeri,
yaitu: Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dan Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Ar-Raniry. Selain itu terdapat pula jenjang-jenjang
pendidikan lainnya seperti Taman Kanak-Kanak (TK), SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA,
ST, SKP, SMEP, SMEA, SGKP, SMI, SMIA, PGA, dan sebagainya.
Sampai
masa orde baru dan reformasi, pendidikan di Aceh terus mengalami pasang surut,
terutama ketika terjadinya perang yang berkepanjangan antara Pemerintah RI dan
GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Kondisi yang tidak kondusif seringkali menimbulkan
keresahan masyarakat dan pendidikan di sekolah-sekolah tidak berjalan dengan
lancar. Para guru dan murid merasa takut untuk sekolah. Ada pula
sekolah-sekolah yang dijadikan markas sementara oleh kedua pasukan, baik TNI
maupun GAM. Bahkan pada tahun 2000-an, saat terjadinya DOM (Daerah Operasi
Militer) di Aceh, pendidikan-pendidikan kepanduan seperti pramuka tidak
berjalan lagi.
Desember
2004, Aceh dan sebagian wilayah Asia Tenggara terkena tsunamiyang
menghancurkan banyak infrakstruktur-infrastuktur pendidikan di Aceh khususnya.
Namun kejadian itu membawa dampak positif juga, setelah terjadinya peristiwa
naas tersebut tercapailah kesepakatan damai di daerah yang penuh dengan konflik
ini. Pendidikan pun ikut membaik, ditambah pula dengan bantuan-bantuan dari
negara-negara asing yang turut serta memperbaiki infrastruktur-infrastruktur
yang hancur oleh tsunami. Peluang beasiswa-beasiswa untuk belajar ke
luar negeri ke daerah Eropa khususnya terbuka lebar untuk putra-putra Aceh.
Hanya saja pendidikan di Aceh tetap saja tidak terlepas dari korupsi,
penyalahgunaan dana pendidikan yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu.
Selain
itu, masih ada pula daerah-daerah pedalaman yang tertinggal dalam hal
pendidikan. Beberapa sebab di antaranya
ialah medan untuk menuju ke tempat tersebut sangat sulit, ataupun masyarakat
sekitar masih meremehkan pentingnya pendidikan dalam kehidupan mereka.
Sebelum
mengakhiri tulisan ini, penulis
menampilkan sebuah pertanyaan yang pernah menjadi bahan diskusi dalam mata
Kuliah Perkembangan Pemikiran Islam di Aceh di Fakultas Usuluddin IAIN
Ar-Raniry Banda Aceh, “Mengapa pendidikan di Aceh tidak terlepas daripada KKN[1]?”
Sebenarnya bukan hanya di bidang pendidikan saja, bahkan di sektor
pemerintahannya sendiri pun tidak terlepas dari KKN. Salah satu penyebabnya
ialah dikarenakan tidak adanya aturan hukum yang tegas dalam menangani masalah
KKN ini, bisa jadi pula ini disebabkan karena kurangnya ilmu pengetahuan dan
keyakinan terhadap agama Islam sehingga menimbulkan kehancuran moral di
kalangan pemimpin serta rakyatnya. Sedangkan para ulama dari hari ke hari
sepertinya makin tidak peduli dengan KKN, belum muncul reaksi serius dari
golongan ulama terhadap masalah ini, padahal jika ulama bersatu dengan rakyat
menghadapinya sesuai dengan tuntunan syari’at Islam maka tidak mustahil masalah
ini dapat diatasi.
Solusi
yang sering dijumpai dari masyarakat umum, untuk mengatasi masalah dekadensi[2]
moralitas (termasuk KKN) ini ialah “kita harus kembali kepada Al-Qur’an dan
Hadits.” Segala aspek kehidupan kembali lagi dilaksanakan sesuai dengan
perintah Al-Quran dan ajaran Rasulullah Saw., namun sayangnya sampai saat ini
realisasi atau praktek dari solusi tersebut belum tampak di dalam kehidupan
sehari-hari. Tetapi walau bagaimanapun juga, kita selalu berdo’a dan berusaha
agar solusi tersebut terwujud, dimulai dari individu kita masing-masing dan
orang-orang terdekat kita untuk meningkatkan pengetahuan dan pengamalan ilmu
agama Islam.
0 comments:
Post a Comment